Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Politik    
Capres
SETARA Institute Prihatin Hasil Lembaga Survei terkait Elektabilitas Capres-Cawapres Makin Tidak Masuk Akal
2023-11-21 05:39:11
 

 
JAKARTA, Berita HUKUM - SETARA Institute prihatin terhadap hasil lembaga survei terkait elektabilitas calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang dinilai semakin tidak masuk akal. Posisi lembaga survei pun menjadi pertanyaan publik.

"Hari-hari ini publik disuguhi hasil survei tentang elektabilitas capres dan cawapres yang semakin tidak masuk akal. Kita tidak pernah mengetahui posisi lembaga survei, apakah juga merangkap sebagai konsultan politik, juru kampanye yang berlindung di balik kebebasan akademik survei, atau agitator yang ditugasi untuk menggiring opini tentang hal-hal yang dikehendaki oleh pihak yang menugasi," ujar Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Ismail Hasani dalam keterangan tertulisnya, Senin malam (20/11).

Menurutnya, survei adalah instrumen pengetahuan dan teknologi penyerap aspirasi masyarakat yang sudah sejak lama dipraktikkan dalam negara demokratis, termasuk di Indonesia.
Survei adalah instrumen pengetahuan dan teknologi penyerap aspirasi masyarakat yang sudah sejak lama dipraktikkan dalam negara demokratis, termasuk di Indonesia.
Survei juga telah menghubungkan aspirasi publik yang tersumbat dengan para pengambil kebijakan negara, yang selama ini seringkali barjarak.
Oleh karenanya survei adalah bentuk kebebasan berekspresi, berpendapat dan kebebasan akademik. Bahkan jika hasil survei menjadi kontroversi, maka bukan hasil survei yang dikritik. Kritik hanya pantas ditujukan pada metodologi survei termasuk soal etika. Baik etika pengambilan data, etika menjauhkan diri dari konflik kepentingan, termasuk etika publikasi, yang seringkali berhubungan erat dan menjadi bagian yang paling berbenturan dengan posisi lembaga survei.

"Dalam situasi yang demikian, maka kita menyayangkan materi-materi yang seharusnya tidak dipromosikan karena bertentangan dengan Konstitusi RI, seperti survei jabatan tiga periode di tahun lalu, survei afirmasi atas politik dinasti yang merusak demokrasi, survei afirmasi putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 dan Putusan MKMK, dan lainnya. Di tengah keterbatasan pengetahuan publik atas term-term tersebut, pengambilan sampel secara acak, hanya akan menghasilkan afirmasi atas berbagai kehendak-kehendak inkonstitusional, niretika dan merusak demokrasi," papar Ismail.

Selain itu, lanjutnya, agitasi agenda satu putaran oleh kandidat Pilpres tentu sahih sebagai bagian dari injeksi energi bagi tim kampanye dan pendukung.

"Menjadi persoalan serius ketika agitasi itu didukung dengan survei dan publikasi survei, yang sebenarnya adalah mangkampanyekan pasangan capres dan cawapres tertentu. Ada dua tujuan tidak etis yang hendak dicapai dari agenda ini, (1) berharap bandwagon effect, agar pemilih mengikuti langkah mayoritas publik yang sudah menentukan pilihan dan (2) menyediakan justifikasi akademik-populis, atas kemungkinan tindakan tidak jujur dan segala cara memenangi kontestasi, yang bisa saja dilakukan oleh pihak-pihak tertentu pada semua kandidat," ujarnya.

Lebih lanjut Ismail Hasani mengatakan, sejalan dengan sajian aneka survei, kampanye pemilu damai dan teduh terus disuarakan tetapi dengan nada suara yang menakutkan.

"Ajakan damai menjadi isu demokrasi dan keadilan Pemilu, karena mengkritik kandidat dianggap bikin gaduh, mendorong netralitas berpotensi berhadapan dengan hukum, mengoreksi dan menjadikan isu pelanggaran konstitusi dan politik dinasti dianggap bikin gaduh dan menebar hoax. Lalu situasi damai dan teduh itu ditujukan untuk apa?" tukasnya.

Berbagai keprihatinan ini menjadi kegelisahan publik dan terus akan mewarnai Pilpres dan Pemilu 2024. Keprihatinan ini kini bertransformasi menjadi ketakutan dan teror demokrasi yang mengancam kebebasan sipil. Transformasi destruktif ini akan semakin kencang karena posisi benturan kepentingan penguasa dengan kandidat tertentu, sehingga akan sulit menjadi wasit yang netral, sulit menjadi tuan rumah pertandingan yang ramah, meski berulang kali menjamu makan bersama.

Setara Institute, tambah Ismail, sebagai salah satu lembaga yang juga sering melakukan survei, mengetuk hati para kolega untuk mengembalikan posisi survei sebagaimana tujuan asalnya.

"Bukan hanya standar etik yang dipedomani tetapi juga ada nilai kebajikan yang dipromosikan. Demi keadilan Pemilu, Setara Institute juga mendorong netralitas genuine yang didukung oleh sistem, standar operasi, dan penyikapan atas dugaan pelanggaran alat-alat negara secara transparan dan berkeadilan. Langkah ini akan efektif hanya jika dimulai dari Presiden Jokowi," pungkasnya.(rls/bh/amp)



 
   Berita Terkait >
 
 
 
ads1

  Berita Utama
Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi Lalu Mengkritisi?

Mudik Lebaran 2024, Korlantas: 429 Orang Meninggal Akibat Kecelakaan

Kapan Idul Fitri 2024? Muhammadiyah Tetapkan 1 Syawal 10 April, Ini Versi NU dan Pemerintah

Refly Harun: 6 Ahli yang Disodorkan Pihak Terkait di MK Rontok Semua

 

ads2

  Berita Terkini
 
Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi Lalu Mengkritisi?

5 Oknum Anggota Polri Ditangkap di Depok, Diduga Konsumsi Sabu

Mardani: Hak Angket Pemilu 2024 Bakal Bikin Rezim Tak Bisa Tidur

Hasto Ungkap Pertimbangan PDIP untuk Ajukan Hak Angket

Beredar 'Bocoran' Putusan Pilpres di Medsos, MK: Bukan dari Kami

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2